AKTIVIS LINGKUNGAN TUNTUT SANGSI DAN PENCABUTAN IZIN KPUC

oleh
oleh

MALINAU, Kabarmalinau.com—Jebolnya  kolam penampung limbah batu bara Tuyak, milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) menjadi bencana ekologis terbesar dalam sejarah pertambangan Malinau khususnya pada 4 tahun terakhir. Dua hari sejak kolam Tuyak jebol pada Minggu (07/02) malam sungai-sungai di sekitar area tambang KPUC, Sungai Malinau dan Sesayap tercemar.

Akibat pencemaran, habitat sungai banyak yang musnah. PDAM Apa Mening menyetop operasional Instalasi Pengolahan Air (IPA) pada Selasa (10/02) siang. Penyaluran air ke masyarakat Kecamatan Malinau Barat dan Malinau Kota terhenti. Masyarakat 14 desa di Kecamatan Malinau Selatan Hulu, Malinau Selatan dan Malinau Selatan Hilir yang berada di sepanjang DAS Malinau selama 2 hari itu kelimpungan karena tak dapat menggunakan air sungai yang biasa mereka konsumsi.

 

 

Foto (ist) Seorang anak mengumpulkan ikan-ikan yang mati di sepanjang aliran Sungai Malinau pasca tercemar limbah tambang batu bara, Selasa (09/02)

Wahan Lingkungan Hidup (Walhi),  Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup (Lalingka) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kaltara mengecam KPUC dan menuntut pemerintah memberi sanksi keras.

Malapetaka lingkungan tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh pihak KPUC. Apalagi jika mengingat secara historis settling pond Tuyak dibuat KPUC secara “paksa”. Sebab, Dinas Lingkungan Hidup  (DLH)  Malinau tidak pernah menyetujui Tuyak dijadikan settling pond.  Tuyak adalah sebuah sungai yang berada di kawasan tambang KPUC. Karena aktifitas tambang sejak 2011 Sungai Tuyak terpotong lalu tertimbun, galian tambang.  DLH Malinau tetap mengarahkan KPUC untuk mengalihkan kawasan yang terlanjur dijadikan kolam penampung air limbah tersebut ke tempat lain lalu mengembalikan Tuyak ke rona semula.

“Mereka (KPUC) dulu mengajukan Tuyak untuk dijadikan settling pond. Tapi kami tidak setujui karena itu adalah anak sungai. Rekomendasi kami, agar segara itu (Tuyak) direhabilitasi atau dikembalikan ke rona awal,” jelas Frent Tomi Lukas, Selasa (09/02) kemarin.

Pencemaran akibat melimpahnya air limbah dari kolam pengolahan perusahaan tambang bukan baru terjadi. Sejak perusahaan tambang batu bara beroperasi masalah pencemaran sudah sering terjadi. Data media ini menujukan KPUC cukup banyak mendapat catatan merah. Puncaknya pada tahun 2017 saat kasus pencemaran marak terjadi. Pada tahun 2017 lalu sejak Juli sampai September terjadi 15 kali Sungai Malinau tercemar oleh limbah tambang KPUC.

Pencemaran sungai oleh limbah tambang dari Tuyak menjadi bencana ekologis terbesar kedua kali setelah terjadi pada tahun 2017 lalu. Kematian habitat air pada Sungai Malinau menjadi bukti tak terbantahkan.

“Air sungai bukan keruh lagi, kental campur lumpur. Itu sampai ke hilir. Ikan-kan banyak mengambang dan mati,” ungkap Arifin, Kepala Desa Sengayan, Selasa (09/02). Warga yang terlanjur mengonsumsi ikan mengalami gangguan pada mulut

Kelalaian KPUC harus ditebus oleh bencana ekologi besar. Sungai Malinau dari hulu sampai hilir sepanjang lebih dari 70 KM tercemar oleh limbah, kotoran dan berbagai polutan beracun dari kawasan tambang. Begitu juga setelah sampai di Sungai Sesayap yang menjadi muara Sungai Malinau. Meski sudah tercampur oleh air Sungai Mentarang, yang juga bermuara di Sungai Sesayap, kadar polutan sangat tinggi. Hal itu terbuktikan oleh penghentian Instalasi Pengolahan Air (IPA) PDAM Apa Mening Malinau pada Selasa (09/02) siang.

“Kami akan menghentikan operasioan IPA Kuala Lapang kalau kondisi air sungai sudah tidak normal lagi. Kalau kualitas airnya sudah tak bisa ditoleransi,” kata Direktur PDAM Apa Mening, Saiful Bachri.

Dampak limbah tambang batu bara Tuyak sedemikian besar. Sebab Tuyak yang dijadikan KPUC sebagai kolam, menampung limpasan air dari sebagian besar area tambang. Di lokasi sebelum jebol, Tuyak terhampar menyerupai danau seluas belasan hektar. Volume air limbah yang tertampung di Tuyak sangat besar. Maka tak pelak ketika jebol pencemaran besar terjadi.

Sanksi dan Pencabutan Izin KPUC

DLH Malinau tengah mengevaluasi kasus jebolnya kolam limbah Tuyak sebelum memberi tindakan tepat sesuai kewenangan yang dimilik DLH. Yang pasti rekomendasi rehabilitasi atau pengembalian Tuyak ke rona awal tetap diberlakukan.

“Kami lagi mempersiapkan surat teguran keras serta rekomendasi dan lain-lain,” kata Fren Tomi Lukas.

Sejauh ini, imbuh Tomi, sesuai kewenangan DLH kabupaten, pihaknya hanya dapat mengelurkan teguran, peringatan dan rekomendasi-rekomendasi.

Kepala Dinas ESDM Provinsi Kaltara, Ferdy M. Tanduklangi, saat dikonfirmasi mengatakan bahwa pihaknya tak lagi punya  kewenangan dalam menangani masalah pertambangan.

“Kewenangan pertambangan sudah di pusat, di Kementerian ESDM sejak 11 Desember 2020. Jadi mulai sekarang tidak punya lagi kewenangan pengawasan,” jawabnya melalui pesan whatsapp pada media ini.

Belum ada tanggapan resmi dari pihak KPUC. Kepala Teknik Tambang (KTT) KPUC Mudjiarto, Bambang Saad Pimpinan Humas KPUC Kantor Malinau dan Sofian Staf Humas KPUC Kantor Malinau belum dapat dimintai klarifikasi.

Bencana lingkungan akibat limbah menuai reaksi dari Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup (Lalingka),  Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)  dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltara. Ketiga NGO ini menuntut pemerintah memberi sanksi tegas atas kelalaian KPUC yang berujung pada pencemaran sungai secara besar-besaran.

Lalingka dan Jatam akan menuntut pemerintah agar mencabut izin lingkungan  milik KPUC. Lalingka akan menindaklanjuti kejadian tersebut dengan mengumpulkan fakta fakta secara detail dan mencukupi sebagai bahan untuk melakukan pada kementerian terkait.

“Menurut kami ini adalah potret bagaimana perusahaan tambang tidak mengantisipasi atas potensi pencemaran lingkungan sehingga kemudian mencemari sungai. Lebih  jauh lagi kerusakan lingkungan hidup. Kasus serupa ini sudah pernah terjadi sejak tahun 2017 hingga berapa kali sampai dengan  tahun 2021. Kerusakan lingkungan hidup di Malinau yang di duga di akibatkan oleh perusahaan tambang sudah berulang kali,” ungkap Adri, Ketua Lalingka Kaltara, Selasa (10/02)

Selain meminta pencabutan izin Lingkungan, Lalingka Juga meminta pemerintah untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik KPUC.

“Pemerintah harus mencabut izin Lingkungan KPUC karna di duga telah melakukan pencemaran sungai yang berulang kalinya sehingga perusahaan tambang yang ada di Kalimantan Utara bisa berkaca pada perusahaan yang diberikan sangsi sehingga keadaan seperti ini tidak terulang,” tegas Andri.

Kecaman keras disampaikan Direktur Eksekutif  Walhi  Kalimantan Utara, Yohana Tika.  Jebolnya kolam limbah KPUC yang terjadi secara berulang sejak 2017 membuktikan perusahaan tersebut belum memenuhi kaidah-kaidah lingkungan yang tepat. Ironisnya, ungkap Yohana Tika, perusahaan tetap berjalan seperti biasa tanpa melakukan pertanggung jawaban akibat kerusakan yang timbul. Padahal pencemaran akibat jebolnya tanggul kolam berdampak besar.

“Ini menunjukkan kondisi carut marutnya pengelolaan pertambangan di Kalimantan Utara dan merupakan bentuk kejahatan lingkungan. Kami mendesak pemerintah daerah segera membentuk satgas kejahatan pertambangan dan melakukan investigasi penyebab jebolnya kolam limbah KPUC,” ungkapnya melalui pesan whatsapp pada media ini.

Walhi juga mendesak Gubernur Kaltara segera bertindak. Menekan KPUC untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap lingkungan, sosial-masyarakat, termasuk mempertanggungjawabkan secara hukum.

“Karena kewenangan izin tambang saat ini ditangan gubernur. Termasuk pencabutan izin perusahaan tambang yang bermasalah di Kaltara. Izin yang telah dikeluarkan provinisi itu tetap menjadi tanggung jawab provinsi,” tegas Yohana Tika.

PENULIS : MACHMUD BALI – WALIYUNU HERIMAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *