Kepala Adat Kayan Mentarang Menilai Kebijakan Nasional Menggerus Wilayah Adat
MALINAU, Kabarmalinau.com – Pemerintah Pusat telah menetapkan sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) di daerah perbatasan, termasuk di Kabupaten Malinau. Proyek-proyek ini, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang di Kecamatan Mentarang dan PLTA Kayan di sepanjang Sungai Kayan, Bahau, dan Pujungan, berada di Kawasan Hutan Kayan Mentarang.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Malinau pada Senin (24/6/2024), Kepala Adat Besar Apau Kayan, Ibau Ala, bersama perwakilan 11 masyarakat adat, menyampaikan berbagai kebijakan nasional yang dianggap mengancam keberadaan masyarakat adat di Malinau.
**Pengaruh Kebijakan Nasional**
Ibau Ala menilai bahwa kebijakan strategis nasional terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) telah mempersempit wilayah adat masyarakat di Kawasan Kayan Mentarang. “Penetapan lokasi, program agraria, serta pemberian konsesi kehutanan dan galian mengakibatkan penyempitan wilayah adat,” ujarnya.
Masyarakat adat, khususnya di Kayan Mentarang, merasa belum mendapatkan kepastian mengenai pengakuan hutan adat. Kebijakan nasional, menurut mereka, malah mengurangi luas wilayah dan hutan yang dimiliki masyarakat adat.
“Keputusan ini dibuat sepihak tanpa melibatkan masyarakat. Kebijakan tersebut hanya menggerus hak kami,” tambahnya.
**Permasalahan Utama**
Terdapat tiga permasalahan utama yang disampaikan dalam RDP:
1. Konsesi Proyek Strategis Nasional di Mentarang Hulu, termasuk di Apau Kayan, Pujungan, dan Bahau Hulu.
2. Penguasaan negara terhadap kekayaan alam di Kayan Mentarang melalui kebijakan strategis nasional.
3. Pengakuan hutan adat yang belum diakui oleh negara.
Ibau Ala juga menyoroti bahwa PSN PLTA Kayan, yang diklaim sebagai proyek energi hijau, mengancam keberadaan masyarakat adat di sepanjang aliran sungai Kayan, Bahau, dan Pujungan.
“Kami, masyarakat adat, telah ada sejak sebelum negara. Tanah adat yang ada saat ini adalah warisan nenek moyang kami, dan kami berhak melindunginya dari kesewenang-wenangan ini,” tegasnya.
**Tanggapan FoMMA**
Dolfina, Ketua Badan Pengurus Harian Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) Kayan Mentarang, juga menyampaikan keluh kesah yang menjadi puncak dari kesabaran masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat adat Kayan Mentarang sering kali dijadikan objek bagi negara dengan dalih Taman Nasional.
“Kolaborasi yang dimaksud pemerintah tidak jelas dan tidak melibatkan masyarakat adat. Kami hanya menjadi objek negara. Apa yang dimaksud dengan pengelolaan kolaboratif?” tanyanya.
FoMMA mencatat bahwa usulan pengakuan hutan adat hingga kini belum mendapatkan tanggapan positif. Usulan tersebut sering kali ditolak dengan alasan berada dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melepas beberapa usulan hutan adat dengan alasan kebijakan strategis nasional. Apakah hak masyarakat adat hanya diabaikan?” ujar Dolfina.
**Desakan dan Langkah Selanjutnya**
Masyarakat adat mendesak agar status Taman Nasional Kayan Mentarang diubah menjadi Taman Adat Kayan Mentarang. Mereka juga meminta agar usulan ini disampaikan kepada Kementerian.
“DPRD diharapkan dapat memfasilitasi usulan ini ke Kementerian Politik Hukum dan HAM RI,” tegas Dolfina.
Rencana ke depan adalah menyampaikan hasil RDP bersama 11 perwakilan adat kepada kementerian terkait. (tk01/saf)